Beragam versi berkembang dikalangan masyarakat terkait Raden Kian Santang putra dari
Prabu Siliwangi. Dalam satu versi Kian Santang lahir dari Dewi Kumalawangi di
Pajajaran 1315 M. dia adalah pemuda yang sangat cakap, tidaklah mengherankan
diusianya yang sangat muda diangkat menjadi dalem Bogor kedua. Konon Raden Kian
Santang kebal tidak bisa dilukai senjata jenis apapun, auranya memancarkan
seorang ksatria dan sorot matanya menggentarkan hati lawan. Diriwayatkan Raden
Kian Santang telah menjelajahi wilayah Pasundan tapi seumur hidupnya dia tidak
pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya padahal pemuda ini
ingin sekali melihat darahnya. Pada suatu hari ia memohon kepada ayahnya agar
dicarikan lawan yang hebat. Untuk memenuhi permintaaan putranya Prabu Siliwangi
mengumpulkan para ahli nujum dia meminta bantuan kepada mereka, siapa dan
dimana orang sakti yang mampu mengalahkan putranya. Kemudian datang seorang
kakek yang dapat menunjukan orang yang
dia cari. Menurut kakek tersebut orang gagah yang dapat mengalahkan Kian
Santang tersebut ada di tanah Suci Makkah namanya Sayyidina Ali.
“Aku ingin bertemu dengannya”, ungkap
Raden Kian Santang,
“Untuk bertemu dengannya ada syarat yang
harus Raden penuhi”, ungkap sang kakek.
Syarat-syarat
tersebut yaitu harus bersemedi dulu diujung kulon, ujung barat pasundan waktu
itu Banten masih masuk wilayah Pasundan. Dan harus berganti nama menjadi
Galantang Setra. Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi masalah bagi Kian
Santang. Dan berganti nama menjadi Galantrang Setra dan pergi ke Ujung Barat
Pasundan untuk bersemedi selama 40 hari. Selanjutnya pergi ke Makkah dengan segala
ilmu kesaktiannya sehinggga tidak memakan waktu lama untuk sampai di Mekah.
Sesampainya
di Mekkah, Galantrang Setra bertanya “Anda
kenal dengan nama Sayyidina Ali”, ungkap Galantrang Setra kepada lelaki
tegap yang berpapasan dengannya.
“kenal sekali” ungkapnya.
“Bisa kau antar aku kesana”, Galantrang
Sentra
“Bisa, asal kau mau ambilkan tongkatku yang
ada disana”. Demi bertemu dengan Sayididna Ali Kian Santang menurut
mengambilkan tongkat yang tertancap di pasir. Tapi alangkah terkejutnya dia karena
tongkat yang diambil tidak bisa dicabut walaupun dia mengeluarkan kesaktiannya
bahkan sampai keluar keringat darah dari pori porinya. Begitu mengetahui Kian
Santang tidak bisa mengambil tongkatnya, pria itu menghampiri tongkatnya dan
membaca “Bismillahirrohmanirrohim”
lalu mengambil tongkatnya dengan mudah. Begitu heran melihat orang itu mencabut
dengan mudah tongkat itu. “mantra apa
yang kau sebut tadi, hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu, bisakah kau
mengajarkan mantra itu kepadaku”,
“tidak bisa, karena kau bukan orang islam”.
Ungkap Sayyidina Ali.
Ketika
dia terbengong melihat pria itu. Seseorang yang kebetulan lewat didepan mereka
menyapa “Assalamu’alaikum Sayyidina Ali”.
Kini dia tahu yang dari tadi bersamanya adalah Sayyidina Ali, Akhirnya dia
mengurungkan niatnya untuk beradu kesaktian, dia berpikir mencabut tongkatnya
saja tidak bisa bagaimana dengan kesaktiannya.
Singkat
cerita dia masuk agama islam dan belajar agama islam selama sebulan. Setelah
sebulan Kian Santang pulang hendak mengajak ayahnya masuk islam, namun Prabu Siliwangi
menolak ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kembali ke Makkah untuk melanjutkan
belajar islam selama tujuh tahun. Setelah tujuh tahun Kian Santang kembali ke
tanah pasundan dan berdakwah dengan maksud supaya ayahnya mau memeluk islam.
Namun mengetahui Kian Santang kembali ke kerajaannya Prabu Siliwangi dengan
kesaktiannya merubah kerajaannya menjadi hutan belantara. Kian Santang kesana
kemari mencari kerajaan ayahnya yang letaknya dia ingat bahwa disitu letak
kerajaannya namun berubah menjadi hutan belantara.
Beberapa
saat kemudian Kian Santang bertemu dengan Ayahnya dan pasukannya yang keluar
dari hutan belantara. Kian Santang bertanya “ayah mengapa engkau berada di hutan belantara, bukankah seorang raja
seharusnya berada di kerajaan?”.
Mendengar
pertanyaan itu, Prabu Siliwangi bertanya, “lantas
apa, menurut kamu yang pantas ada dihutan”.
Kian
Santang menjawab “harimau”.
Maka
berubahlah ayahnya dan pasukannya menjadi harimau karena tidak mau diajak
memeluk agama Islam dan menempati goa sancang di hutan sancang di Daerah Garut.
Untuk kisah lebih lengkap simak dengan mengklik video berikut atau Kilk ini untuk menuju sumber utama link:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar